Jumat, 21 Februari 2014

ANTARA BERKAT, TONJO’AN, DAN SONGGONGAN



Oleh: Rohadi*
Ketika ada tetangga mengundang untuk menghadiri suatu hajatan atau kenduri, biasanya pulang diberi makanan yang ditaruh pada tempat khusus seperti besek, takir, atau hanya dibungkus daun pisang. Makanan itu kita menyebutnya dengan istilah berkat atau ambeng. Tapi kalau makanan tersebut dihantar oleh si punya hajat pernikahan atau khitanan, sehari atau dua hari sebelum pelaksanaan resepsi pernikahan/ khitanan, kita menyebutnya tonjo’an (bukan tonjo’an yang berarti pukulan). Umumnya para wanita yang menghadiri resepsi pernikahan/ khitanan, pulang diberi makanan juga. Makanan yang terakhir ini biasa dinamakan songgongan.
Melihat wadagnya berkat, tonjo’an, dan songgongan memang tak jauh beda. Ketiganya merupakan sedekah berupa makanan dari orang yang punya hajat. Namun bagi yang menerima, rasanya jauh berbeda. Kalau dirangking, yang paling disuka adalah berkat.
Beberapa orang mengeluh tatkala menerima tonjo’an. Ini disebabkan ada beban keharusan buwuh  setelah menerima tonjo’an. Bagi orang yang berduit memang tidak ada masalah, tetapi bagi yang pas-pasan, akan lebih mengeluh manakala tetangga, sanak saudara banyak yang akan melangsungkan pernikahan/ khitanan.
Istilah buwah inilah yang harus kita ganti dengan istilah yang lain, sedekah, misalnya. Tujuannya tidak lain agar hati kita jadi ringan manakala mengeluarkan uang, beras, atau sembako lain kepada orang yang punya hajat. Bukankah sedekah itu berpahala? Bukankah Nabi telah mengajarkan bahwa kita diperintah bersedekah dalam keadaan lapang (kaya) dan sempit (miskin)?
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya”. Istilah buwuh ada kesan membalas buwuhan si empunya hajat kepada orang yang dulu pernah dibuwuhi. Atau ada harapan besok kalau punya hajat biar ganti dibuwuhi. Kalau begini niatnya maka jelas tidak Nampak keikhlasannya.
Suatu amal yang kita berikan/ kita lakukan  jika tidak ada keikhlasan maka tidak ada pahala. Kalau beramal tidak berpahala di akhirat akan sengsara.
Jika orang selalu resah, gelisah, atau mengeluh tatkala menerima tonjo’an, nyaris dalam setahun ia cuma bahagia tiga bulan saja, yaitu pada bulan Ramadlan, Dzulqa’dah, dan Muharram, karena pada ketiga bulan ini nyaris tidak ada orang yang menggelar pesta pernikahan.
Selebihnya, sebilan bulan yang lain ia selalu gelisah karena banyak tentangga kanan kiri sanak famili yang melangsungkan akad pernikahannya pada sembilan bulan Hijriyah ini. Wah, dimana kebahagiaannya?
Persepsi harus diubah. Ketika menerima ­tonjo’an atau songgongan harus kita rasakan sebagai rizeki dari Allah Ta’ala, sama rasanya ketika mendapat berkat. Maka harus kita syukuri. Kalau mau buwuh, itu urusan lain lagi, tidak perlu dihubungkan dengan tonjo’an. Antara tonjo’an dan buwuh adalah dua hal yang berbeda.
Istilah buwuh (kalau membebani) bisa kita ganti dengan istilah sedekah. Sama-sama keluar uang 30 ribu, bisa kita sebut buwuh bisa kita niati sedekah. Bila diniati sedekah, konsekuensinya harus dikeluarkan dengan tanpa beban, ikhlas, Lillahi Ta’ala.
Tinggal bagaimana akhlak kita tatkala menerima tonjo’an itu. Apakah tonjo’an diaggap sebagai undangan untuk buwuh? Ataukah sebagai dorongan untuk besedekah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar